Archive | July, 2016

Cerita Lebaran: Belajar Memasak

7 Jul

Dan tibalah pula saat itu. Saat-saat para penduduk kota besar kelabakan karena ditinggal para pembantu dan penjual makanan. Sebagian kecil dari keluarga mungkin menjadikan masa ini sebagai latihan anak-anak untuk mandiri dengan meminta mereka membantu pekerjaan rumah. Namun sebagian besar memilih untuk mencari jalan lain untuk mengisi kekosongan tenaga kerja dengan mencari pembantu infal atau malah menunda semua pekerjaan hingga nanti para pembantu kembali. Sementara itu, pusat jajanan dan mal akan penuh dengan lautan manusia yang mencari makanan.

Itu bagi para keluarga. Kalau anak kos seperti saya? Ya, ada dua pilihan. Memberanikan diri untuk memasak atau bertahan dengan makanan ala kadarnya seperti mie instan dan fast food, yang lagi-lagi adanya juga di mal dan pusat perbelanjaan.

Di tahun-tahun pertama saya di Jakarta, pilihan kedualah yang saya jalani. Maklum saja, memang tidak ada tempat untuk memasak. Dan keluar masuk mal tiap hari sembari nongkrong dengan kawan-kawan yang juga tidak pulang adalah agenda tiap lebaran. Boros? Iya, pasti. Bosan? Iya mau bagaimana lagi? Di Jakarta hanya mal yang bisa dijadikan tempat rekreasi yang cukup nyaman. Mengunjungi tempat wisata seperti Ancol akan terasa bagaikan sebuah peziarahan, memberi kepuasan batin tetapi butuh perjuangan yang besar untuk dilakukan. Dan aku bukan termasuk orang yang mendapatkan kepuasan batin dengan berziarah ke Ancol.

Tiga tahun terakhir ini, pilihan pertama yang kupilih. Mumpung ada dapur di kos. Siap-siaplah aku bereksperimen dengan kemampuan memasakku yang ala kadarnya dan ditunjang dengan insting memasak yang juga ala kadarnya.

Hasilnya? Well…
1.    Sup kembang tahu
Ini salah satu makanan favorit rumahanku. Isinya sederhana, hanya kembang tahu yang direbus dalam kuah ayam. Seharusnya sederhana ya. Seharusnya.
Setelah beli semua bahan dan memastikan lagi prosedur pembuatan ke Mama, kumulailah proses memasak. Dimulai dengan merendam kembang tahu yang masih keras di air mendidih. Kemudian dilanjutkan dengan merebusnya di air yang sudah diberi kaldu ayam. Setelah beberapa saat, dengan gembira aku bersiap menyantapnya. Dengan mata bersinar-sinar aku menyambut gigitan pertama dari hasil masakanku, dan……..alot. Kembang tahunya alot. Bahkan setelah kurebus kembalipun tidak bisa melunakkan sedikitpun kealotan kembang tahu itu. T_T Ya, Tuhan, apa salahku…

2.    Sup telur puyuh bawang. BAWANG
Oke. Manusia harus bisa bangkit dari kegagalan. Maka mencobalah aku masakan lain yang sekiranya lebihi mudah. Untuk sup ini bahannya gampang. Telur puyuh, kembang kol, wortel, kentang, dan kaldu. Meskipun agak repot dengan merebus dan mengupas telur puyuh dulu, tetapi aku optimis dengan masakan yang ini. Air sudah direbus, kaldu dan bahan-bahan lain dimasukkan sesuai urutan kematangan. So far so good.

And it would have stayed good if only I hadn’t tempted to improvise. Waktu temanku melihat masakanku, dia sambil lalu menyarankan, “Coba ditambah bawang goreng, pasti lebih enak hasilnya.” Yang entah kenapa kudengarkan, padahal suka bawang goreng pun aku tidak.

Bencana pun menerjang dalam bentuk bawang goreng. Tanpa pengalaman menggoreng bawang sama sekali, yang terjadi adalah aku menggoreng bawang putih hingga hitam dan memasukkannya ke dalam supku. Hasil gorengannya sudah jelas gagal, dan insting memasakku yang ala kadarnya itu tidak membantu. Jadilah saudara-saudara, SUP BAWANG. Rasa bawang begitu mendominasi menenggelamkan keberadaan bahan-bahan yang lain. Ah sudahlah.

3.    Tempe dan telur goreng
Dari dua masakan di atas, sudah tertebak bahwa sup adalah bentuk makanan favoritku. Tapi belajar dari pengalaman, aku tidak berani lagi membuat sup dan memilih cara masak yang lebih sederhana: menggoreng. Cukup sukseslah untuk dua makanan ini. Keterlaluan kalau hanya menggoreng temped an telur saja tidak bisa. Hore, akhirnya.

4.    Spaghetti instan
Nah, diantara semua percobaan memasak, inilah yang paling berhasil. Memang sih, instan. Tapi jika dilihat hasilnya, spaghetti ini cukup layak dan sehat. Prestasi juga karena baru sekali mencoba. Langsung dicatat sebagai salah satu pilihan di masa yang akan datang.

Sementara itu, menimbang kemampuan memasakku yang begitu memprihatinkan, aku memutuskan untuk belajar memasak pada Mama nanti ketika ada kesempatan untuk pulang. Benar-benar belajar ya, bukan cuma menonton seperti biasanya.

PS: Namun ternyata nasib berkata lain. Satu hari menjelang keberangkatan, Mama memberi kabar. Dia akan jalan-jalan ke Surabaya. Pelajaran memasak pun harus ditunda. Dan rencana untuk nostalgia dengan masakan Mama harus berakhir dengan wisata kuliner seputar rumah.